Orang Minang sangat identik dengan merantau, pergi dari kampung halaman untuk mengadu nasib ke berbagai tempat bahkan sampai tidak pulang sekian lama hingga melahirkan anak keturunan di negeri orang. Tapi tentu saja tidak semua orang Minang begitu, seperti keluargaku. Sejak lahir hingga usia 23 tahun aku menetap di kampung halaman, Solok, yang terkenal dengan berasnya. Sebenarnya sejak usia 18 tahun aku ngekost di Padang karna berkuliah di sana, tapi buatku itu sama sekali tidak masuk kategori merantau karna hanya berjarak 50 km dari rumahku. Kalau aku mau bisa saja pulang-pergi setiap hari saking dekatnya.
Aku senang tinggal di Solok, dekat dengan keluarga, kotanya kecil dan tidak begitu ramai. Walau ada banyak hal yang sulit ditemukan di sini tapi bagiku tidak terlalu masalah. Namun tetap saja ada keinginan untuk pergi ke kota lain, merantau dan menjalani kehidupan dengan suasana baru. Keinginan itu baru terwujud ketika usiaku menginjak 23 tahun. Pertama kalinya aku merantau ke kota yang ternyata sama kampungnya dengan Solok. Hahaha.
Tanah perantauan pertamaku adalah Sukabumi, tempat pertama yang mengasah kemandirianku terutama secara finansial. Tidak lagi bergantung pada uang orangtua, bahkan sebaliknya bisa mengirimkan beberapa rupiah untuk keluarga di rumah, alhamdulillah.
Kegiatanku di Sukabumi bisa dikatakan itu-itu saja. Senin sampai jumat bekerja, sabtu dan minggu digunakan untuk beristirahat. Untung aku punya beberapa teman satu angkatan ketika kuliah dulu jadi akhir pekan selalu aku habiskan bersama mereka, jajan ke pasar, memasak bersama, atau sekedar kumpul-kumpul malam minggu. Walau tidak banyak yang sempat aku lakukan di Sukabumi, kota ini tetap punya kenangan tersendiri buatku. Tempat dimana aku mulai masuk ke dunia orang dewasa, bekerja, mengimplementasikan ilmu-ilmu yang dulunya hanya berupa teori. Setelah itu, aku mendapat panggilan dari kota "S" lainnya, Sheffield.
Jika Solok adalah tempat dari mana aku berasal, dan Sukabumi adalah tempat yang mendewasakanku, maka Sheffield adalah kota yang membuktikan bahwa mimpi benar-benar bisa diwujudkan. Kota yang saking spesialnya sangat pantas aku sebut sebagai rumah keduaku.
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Sheffield, aku masih merasa hal itu tidak nyata. Bukannya lebay, tapi aku benar-benar kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan perasaanku saat itu. Melihat sekeliling dan semua hal begitu berbeda. Orang-orang di sana lebih suka berjalan kaki, keramahan penduduknya yang tidak jarang menyapaku dengan kata-kata manis, dan suhu dinginnya yang seringkali menusuk tulang namun tetap saja aku temukan kehangatan di sana.
Menghabiskan waktuku sebagai mahasiswa selama satu tahun di sana sangatlah berwarna. Di samping belajar secara formal di universitas, aku juga belajar banyak hal tentang kehidupan yang dulunya luput dari perhatianku. Memang tidak semua hal berjalan lancar, ada kalanya aku menangis sendirian di kamarku, tapi juga ada masanya aku tidak bisa berhenti tertawa bersama teman-teman di dapur flat kami. Kadang aku harus rela belajar di kampus hingga tengah malam, tapi tak lupa aku sisihkan waktu untuk menjelajahi tempat-tempat indah di negara barat itu. Jika bicara tentang Sheffield maka tulisan ini tak akan menemukan ujungnya. Mungkin akan aku ceritakan detailnya di postingan terpisah, Insyaallah.
Sekarang aku telah kembali ke Solok, dan sedang berikhtiar untuk mewujudkan impian-impian lain di kota lainnya. Kota selanjutnya tidak harus berinisial S lagi, kok. Dimanapun itu, semoga selalu tertanam kebaikan-kebaikan yang buahnya bisa dengan bebas aku petik dan mungkin bisa aku semai di tempat-tempat lain, agar kebaikannya bisa dirasakan oleh lebih banyak orang. Aamiin..
Posted in Solok, February 2024